Jumat, 25 Desember 2009

Perubahan Paradigma Gerakan Mahasiswa:“Syarat Revolusi Massa”

 
''Jika dulu orang tua berkata sekolahlah yang pintar, kemudian cari kerja yang baik. Namun kondisi saat ini kita dituntut untuk mencari ilmu sebaik-baiknya untuk menjadi wirausahawan yang sukses,'' ujar Ketua Ikatan Alumni (IKA) Unpad, Ferry Mursyidan Baldan, dalam acara wisuda gelombang II Unpad tahun akadeik 2007/2008, Rabu (27/2).

Sekelompok orang menumpang sebuah perahu, berlayar di laut, membelah gelombang. Masing-masing mendapatkan tempat duduk. Salah seorang dari para musafir itu, menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya, mulai membuat
sebuah lubang di bawah tempat duduknya dengan sebuah alat tajam. Andaikata para musafir itu tak segera menahan tangannya dan mencegahnya dari berbuat demikian, tentu mereka semua, termasuk si celaka itu, akan terancam tenggelam.

Dengan indahnya, Sang Revolusioner Nabiyullah Muhammad SAW mengilustrasikan hubungan antara individu, masyarakat, dan proses penyempurnaan hidup yang tak terpisahkan di antara keduanya. Muhammad SAW tidak hanya memandang peranan individu (pribadi) dalam kehidupan, tapi juga massa (ummat). Demikian akhirnya, dalam dienul-Islam, setiap individu tidak saja memiliki tugas untuk beribadah yang bersifat individual, akan tetapi juga bersifat massal. Ibadah tidak hanya dilakukan oleh pribadi, tapi juga oleh masyarakat. Sampai akhirnya, rupanya kategori dosa pun tidak bersifat personal an sich, tapi banyak di antaranya yang disebut dosa sosial….
Demikianlah, proses penyempurnaan hidup itu sendiri pada dasarnya dilakukan melalui proses interaktif satu sama lain. Karena, pembagian individu dan masyarakat ini hanya berada pada wilayah konsepan (persepsi), sementara dalam realitasnya satu sama lain sulit dipisahkan, maka mencapai kesempurnaan itu sendiri akhirnya menuntut kerja masyarakat. Hingga di sini dapat disimpulkan bahwa tugas perubahan sosial dalam mencapai maslahat itu sesungguhnya menjadi tugas masyarakat di tiap zamannya. Bahkan, tidak hanya temporer, tugas suci ini sesungguhnya diemban secara bersama-sama oleh masyarakat di tiap dan dari zaman ke zaman berikutnya. Inilah tugas sepanjang hayat kemanusiaan bagi seluruh generasi manusia.
Kendati begitu, pada tataran realitasnya, tentu saja peranan itu dibagi berdasarkan kapasitas yang dimiliki komponen pada sekelompok manusia. Dalam artian, sungguh naïf mengharapkan akan dijalankannya suatu peranan sosial, sementara komponen itu sendiri tidak memiliki kapasitas yang bersesuaian untuk menjalankan hal ini. Karena itu, selalu saja ada tuntutan berbeda bagi kelompok raushanfikr (tercerahkan) dan belum tercerahkan dalam mengemban tugas perubahan. Bagai sekawanan nabi yang memikul tugas kenabiannya, komponen ini sesungguhnya tergolong pewaris tahta kenabian, yang pada intinya sama-sama memikul tugas menggerakkan perubahan sosial di tengah masyarakat demi terciptanya kesempurnaan jiwa kemanusiaan. Dalam mushaf al-Qur’an, mereka ini disebut sebagai ulil-albab.
Oleh karena keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan ilmu (‘ulama) dan gelora cinta di dada akan cahaya kebenaran, maka dapat diprediksikan bahwa mereka ini tergolong ke dalam kaum terpelajar. Dalam domain keindonesiaan, mereka ini boleh jadi merupakan para mahasiswa. Ini bisa jadi terlampau berlebihan, karena itu ada beberapa catatan penting terkait dengan keberadaan kelompok dimaksud, akhir-akhir ini. Meski begitu, wujud mungkin berupa potensi besar gerakan mahasiswa untuk menjalankan tugas sosial, tentu tak hilang begitu saja. Wujud mungkin itu adalah kekuatan dahsyat.
Kenapa demikian? Karena, jika mengikuti alur berpikir common-sense, mahasiswa adalah kelas menengah tercerahkan, antara rakyat kebanyakan dan negara, hasil seleksi dari suatu komunitas masyarakat urban. Konstituen, budaya, dan struktur yang berkembang di dalamnya punya konotasi ilmiah-rasional dan intelektualisme, sehingga ditempeli banyak embel-embel kesucian moralitas, kecendekiaan, dan heroisme.
Kendati begitu, ada banyak pembahasan yang mungkin subversif jika diketengahkan di sini (tapi tak apa, sebab, kulil-haqqo-walau-kaana-murron). Potensi revolusionernya (mahasiswa) mungkin karena masa pubertas mereka yang ‘gue banget!’ bisa menggoyahkan tatanan sosial-budaya bangsa. Lepas dari jelas atau tidaknya pandangan dunia mereka, semua perilaku mereka menjadi elitis dan ya itu tadi ‘ilmiah’.
Sebagai missal, ketika masih termasuk golongan pelajar (sekolah formal), tawuran mereka adalah bagian dari ikatan group, diilmiahkan dalam istilah nakalnya anak muda, sasarannya adalah sesama pelajar. Setelah jadi mahasiswa, sasaran beralih ke polisi dan disebut sebagai wujud radikalisme. Keren abis dah! Kalo pelajar dapat nilai jeblok, disebut bodoh, sedangkan mahasiswa dapat nilai D, itu disebut karena aktivitas. Jadi, kadang agak bias juga antara demonstrasi sebagai sikap peduli rakyat. Karena, bisa juga emoh kuliah.
Apakah pada praktiknya nilai-nilai idealisme terintegrasi dalam tubuh aktivis mahasiswa atau tidak, perlu kita kritisi. Artinya, banyak faktor yang membuat mahasiswa seperti itu. Sistem percepatan kuliah produk propaganda rektorat agar kampusnya bisa di-cap sebagai lembaga disiplin. Lembaga disiplin tubuh bonafid yang bisa meluluskan mahasiswa dalam kurun waktu 3 tahun, plus embel-embel cum laude. Ditambah fenomena elite penguasa untuk menumpulkan kritisisme dengan cara menaikkan harga masuk kuliah yang nyusahin ortu, plus tradisi keluarga yang stress, kenapa anaknya belum lulus-lulus, belum dapet calon mantu, dan gurita kapitalisme global yang lebih menyukai tipe mahasiswa taat dan professional, siap menjadi boneka pabrik, yang kudu link and match dengan dunia hasil rekayasa korporasi trans-internasional dan negara.
Lihat tubuh bongsor mahasiswa, badan mereka membesar dan dewasa, jauh banget dibanding mahasiswa era dahulu, tapi itu akibat suntikan hormonal dan ekstraksi multivitamin ditambah makanan suplemen dan KFC. Tidak alamiah. Mereka juga besar dalam aksi jalanan, sebagai simbol ‘peduli’ pada nasib bangsa dengan menjual air mineral gelasan, atau nongkrongin perempatan bawa bendera dan kardus indomie yang bertuliskan, “Kencleng Sumpah Pemuda”. Semua itu adalah aktualisasi hasil lobbby antara senior almamater dan organisasinya. Jalanan rame, tapi penuh dengan retorika kosong, emosi labil dan miskin ide orisinil. Suka ngomong revolusi dan pakai kaos Che Guevara di mall-mall dan kafe, tanpa paham betul apa itu revolusi, gimana nyusunnya, gimana mimpinnya, pokoknya funky, asal beda dengan situasi kondisi sosial politik sekarang, itulah revolusi. Absurd banget!
Maka, tidak salah bila rakyat tidak mengerti omongan mereka. Sebab, mereka bukan lagi berasal dari rakyat, melainkan telah menjadi jongos elite. Kalaulah mereka sempat menjadi aksesoris sebuah perubahan sosial, tiada satupun dari mereka yang mengemuka sebagai ideolog. Mereka bisa ‘tidur’ dengan masyarakat dalam KKN atau protes Penggusuran Tanah. Sayangnya, seperti Santa Clauss, perilaku eksibisionis ini tidak menyentuh hati dan paradigma rakyat, melainkan sekedar mengubah dan menambah bentuk material saja. Yang tadinya memakai sungai sebagai jamban sekarang beralih ke MCK, atau mengecat mesjid, membuat nama jalan, pokoknya sama dech kayak AMD (ABRI Masuk Desa). Memang tidak salah, sebagaimana juga Santa Clauss, tidak salah membagi-bagi hadiah ke anak-anak.
Tapi, lain soal ketika mendudukan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat dan kaum tertindas. Mahasiswa yang jauh dari massa rakyat ini jauh dari hati, semangat, bahasa, dan penderitaan bangsa. Kita bisa kalkulasikan seberapa banyak mereka masih berbicara soal tek-tek bengek kenegaraan ketimbang problem riil rakyat. Mengapa? Karena, bicara kebijakan pemerintah adalah bicara kursi yang mempengaruhi periuk nasi elite. Kemampuan berbicara tentang struktur yang tidak didukung dengan praksis (abstraksi ideologi yang bersentuhan langsung dengan perubahan sosial) hanya memproduksi aktivitas salon, manekin solek dan penumpulan rasa.
Kalaulah muncul kesadaran tentang penderitaan rakyat, itu sifatnya temporer. Sama seperti masturbasi, kenikmatan sesaat, hasil manipulasi kesadaran. Kenapa? Sebab, tidak mungkin membela rakyat sambil asyik makan indomie, sedang di sisi lain sebagian besar rakyat menggantungkan hidup pada sawah-padi-beras? Padahal, makan nasi jauh lebih bergizi dan sehat ketimbang makan sebungkus indomie. Harganya juga lebih murah koq! Maka, tiba waktunya bagi kita mendekonstruksi paradigma dan sikap kosong seperti ini. Kesalahan terbesar mahasiswa adalah malas mengasah pemikiran, berdialektika dengan membaca dan berdiskusi, dan menyusun jaringan aktivitas. Ilmu tidak boleh dipahami sebagai wacana saja, “yang penting bisa lulus UAS!”. Tapi juga, mesti dikritisi dalam praktis sosialnya.
Umumnya, mereka agak sulit mau sadar berfikir sistem. Berfikir sistem itu adalah bagaimana menyusun program dan strategi ke depan. Wajar, bila setiap LDKM, LKMM, dan LKM, atau pembinaan di lembaga mahasiswa kampus cuma mengulang saja. Tidak ada kurikulum yang jelas buat pengkaderan di kampus. Beres jadi eksekutif, balik lagi kuliah. Hihihh, pensiun jadi aktivis ya, mas!
Padahal, yang namanya mengurus BEM itu kerjanya luar biasa besar. Kalau kita mimpin BEM, lalu bayaran kuliah tetap naik, anggota biasa ga dapet beasiswa, atau pemilihan rektor masih tidak melibatkan mahasiswa, mending BEM bubar saja. Jangan pernah berpikir mengatasi sistem negara yang bobrok kalau masalah kampus saja kita takut mengkritik Rektor.
Mahasiswa harus punya kesadaran untuk membawa rakyat pada nilai-nilai transenden yang lebih luhur, lebih dari sekedar perubahan struktural (ganti pejabat) dan material. Tapi, sebelum sampai ke sana, mereka harus sabar membina diri menguatkan konsep berpikir-berdialektika-beraksi di diri mereka sendiri. Jangan berkoar-koar soal negara dan dunia jika kita tidak mau sedikit mengeluarkan keringat untuk mengasah logika dan memperkaya pisau analisa dengan membaca banyak buku. Apabila seseorang menetapkan bagi dirinya sendiri untuk mengadakan reformasi masyarakat, maka ia harus berbeda dengan rakyat biasa.
Ia tidak boleh memiliki kelemahan-kelemahan rakyat biasa. Sebuah hadits pernah mengatakan, “Orang yang hendak menjadi pengurus rakyat, haruslah pertama-tama mendidik dirinya, setelah itu mendidik rakyat. Seorang guru atau pelatih diri sendiri, lebih mulia dari seorang guru dan seorang pengurus bagi orang lain”. Revolusi bukan jamuan makan malam atau diskusi-diskusi sambil pesen Cafucino, plus kretek, sembari mengulang-ulang puisi WS. Rendra. Ingat, puisi gak pernah bikin revolusi, Bung!
Selain itu, mereka juga perlu mendekatkan diri dengan realitas masyarakat sebagai asal dan rumah mereka menimba ilmu. Jujur saja, jika pendidikan kita disubsidi oleh rakyat, yang tidak lain dan tidak bukan adalah orang tua kita sendiri, dan menyadari hal ini semua, mereka (mahasiswa) baru bisa menjadi titik api yang berfungsi sebagai sumber kehidupan yang membakar, mencerahkan, dan menggerakkan rakyat.
Dengan penelaahan kritisnya, kehadiran mereka seperti cahaya, terang menerangi dirinya dan menerangi susuatu di luar dirinya. Seperti dikutip dalam Kitab Verdata, “Orang besar itu seperti lelaki yang mengusung pelita dalam kegelapan. Orang yang tidak memilikinya tidak punya pilihan lain, kecuali mendekat dan mengikutinya tanpa pamrih”.
Tinggal sekarang, kita bicara soal hitung-hitungan waktu. Mengutip ucapan Mao Tse Dong, “Revolusi adalah momentum yang disusun dari seribu tahun pasukan, yang dipergunakan pada sebuah subuh!” Untuk menyusunnya, kita perlu perubahan paradigma dan kurikulum perkaderan di Ormawa. Dimulai dengan membangun kesadaran berpikir dan menambah ilmu dengan banyak membaca, menyusun kebiasaan berargumentasi yang benar dengan belajar logika, dan keterampilan praktis di lapangan yang untuk bisa diterapkan di masyarakat atau masa depan mahasiswa sendiri kelak.
Last but not least, ada baiknya kita kutip ucapan arsitek proklamasi kemerdekaan RI Bung Hatta, “Revolusi menggugurkan semua karat-karat, dan melonggarkan perbautan dari sistem. Setelah itu ia harus disusun kembali dengan segera!!!” Untuk itu, revolusi butuh pandangan yang luas dan wawasan yang padu. Revolusi bukan romantisme berleha-leha. Revolusi adalah kerja. Tinggal masalah waktu kapan kita menuainya. Kita tuai itu semua esok hari. Kalaupun kita tidak mengalaminya, biarlah anak-cucu kita yang merasakan segarnya dunia. Minimal, mereka (anak-cucu kita), tidak menyalahkan atau bahkan bersedih hati telah terlahir ke dunia, karena adegan seksual (entah karena dorongan nafsu syahwat atau ibadah) yang kita lakukan, yang mengakibatkan seorang perempuan mengandung benih manusia baru itu. Ingat Bung! kita tidak hidup untuk hari kemarin. Melainkan, untuk esok hari. Ingat, untuk esok hari! “We’re living for tomorrow. Not for yesterday”. Ayo Bung! 



Tidak ada komentar: