Jumat, 25 Desember 2009

Agama dan Sains

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesan-pesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Kaum agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik, jangan sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang diharakan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi.
Pada sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah dapat menjawab semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu, hal yang membuat sains begitu berharga adalah karena sains membuat kita belajar tentang diri kita sendiri sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya diperlukan kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan (Rakhmat. 2003).
Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap rasionalisme. Dengan pandangan rasionalisme, semua tuntunan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara argumentative (Suseno. 1992)
Cirri paling utama dalam rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi manusia, segala seuatu harus dapat dimengerti secara rasional. Sebuah pernyataan hanyab boleh diterima sebagai sebuah kebenaran apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam sisi lainnya, tradisi, berbagai bentuk wewenang tradisional, dan dogma, adalah sesuatu yang tidak rasional bagi masyarakat modern.
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bias terjangkau oleh indra manusia.
Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain.
Sains dan agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma, pengklasifikasian secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat zaman renaisan dan trend ini menjadi dasar yang kuat hingga pada perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.

1.2. Rumusan Masalah
Pembahasan mengenai ilmu pengetahuan dan agama tidak terlepas dari masalah dasar dari perdebatan, yaitu persoalan “kebenaran” dan persoalan “etika” dalam kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kearifan manusia untuk bersikap rendah hati dalam memahami esensi kebenaran dan etika dalam kehidupan ini.
Dapat dijelaskan dalam menelaah fakta dan kebenaran yang ada di kitab suci maupun yang Nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan kearifan dan etika dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia yang mencoba menginterpretasi hukumTuhan maupun hokum alam akan memberikan kesimpulan atas kebenaran yang ada dapat lebih dipertanggungjawabkan dalam konteks sains maupun dalam konteks religi.
Ketika pada abad ke 17 dan ke 18 muncul pemahaman “pencerahan” di Eropa sebagai sikap penentang terhadap segala bentuk tradisi dan dogma, hal ini dianggap sebagai bentuk kesadaran akan hakekat manusia sebagai individu yang mempunyai akal budi. Zaman pencerahan ini membawa manusia semakin maju kea rah rasionalitas dan kesempurnaan moral (Suseno. 1992).
Dengan pemahaman rasionalitas, ilmu pengetahuan telah tumbuh berkembang dan mendasarkan pada kegiatan pengamatan, eksperimen, dan deduksi menurut ilmu ukur. Dengan demikian manusia semakin bersikap rasional dalam memandang alam semesta. Gerakan-gerakan yang terjadi di alam, misalnya tidak lagi diyakini sebagai disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakan dan berada dibelakangnya. Pergerakan itu diyakini terjadi didasarkan kekuatan-kekuatan objektif alam itu sendiri yang dikenal sebagai hukum alam.
Etika dalam interpretasi dan implementasi hokum alam, dalam hal ini sains merupakan bahasan yang lebih rumit karena ha ini menyangkut hakekat penguasaan penentuan kehidupan maupun hal lain terkait dengan proses penciptaan, diperlukan pembelajaran etika, terutama dari kalangan saintis untuk terus melakukan observasi dan eksplorasi alam semesta ini.
Dalam sudut pandang yang sama, penguatan eksistensi agama di dunia seharusnya juga dilakukan dengan lebih membuka diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah rahmat Tuhan sebagai hasil dari dibekalinya manusia dengan akal budi. Pemahaman yang lebih baik mengenai sains dan rasionalitas akan membuat para agamawan menjadi manusia yang juga akan sangat arif dalam menyikapi perintah Tuhan dalam menata kehidupan beragama manusia di dunia ini.


BAB II
PEMBAHASAN

Dalam paparan berikut penulis akan mencoba membahas diskusi pertentangan agama dan sains ini dalam sub bahasan sebagai berikut :
1. Terdapat landasan bgi manusia untuk melakukan eksplorasi alam semesta.
2. Etika sains harus dibahas dari segala segi, baik dari sudut pandang ilmu pengetahuan, agama, maupun untuk kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
3. Manusia diberi akal untuk dipergunakan melihat “kebenaran” yang ada di alam semesta ini, oleh karena itu kalangan agamawan juga seharusnya memaksimalkan penggunaan akal budi untuk mempelajari sains.

Elaborasi dari topic bahasan tersebut adalah sebagaimana penulis paparkan dalam bagian berikut.
A. Hakekat Mempelajari Sains
Tuhan mempersilahkan manusia untuk memikirkan alam semesta berikut isinya dan segala konteksnya, kecuali jangan pernah memikirkan Dzat Tuhan, karena alam pikiran manusia tdak akan pernah mencapainya. Hal ini adalah sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits Nabi : “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya”.
Bahkan dalam QS Ar Rahmaan Ayat 33, Tuhan berfirman : “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.
Menurut hemat penulis, apa yang disabdakan Nabi dan yang difirmankan Tuhan ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia. Pencarian ilmu bagi manusia agamis adalah kewajiban sebagai bentuk eksistensi keberadaannya di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam segala sikap dan tindakan. Keluasan wawasan, pandangan serta kekayaan informasi akan membuat seseorang lebih cenderung kepada objektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk.
Orang yang berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah, ilmu manfaatnya tidak terbatas, bukan hanya bagi pemiliknya, tetapi ia membias ke orang lain yang mendengarkannya atau yang membaca karya tulisnya. Sementra itu, ibadah manfaatnya terbatas hanya pada sipelakunya.
Ilmu dan pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang memanfaatkannya, meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi pahala yang diberikan pada peribadahan seseorang, akan segera berakhir dengan berakhirnya pelaksanaan dan kegiatan ibadah tersebut.

B. Kloning, Sebuah Pembelajaran Tentang Perdebatan Etika Sains
Contoh kasus yang selalu menjadi menarik karena melibatkan perdebatan kaum ilmuwan dan agamawan adalah masalah kloning. Pada tahun 1997, keberhasilan proses kloning yang menghasilkan domba Dolly menjadi perhatian utama dunia ilmu pengetahuan. Keberhasilan ini memicu diskusi yang tidak pernah selesai mengenai eksistensi keilmuan di satu sisi dengan etika keagamaan di sisi lainnya. Teknik kloning ini terus berkembang secara cepat, dan dapat diterapkan tidak saja pada sel embrio, tetapi juga dapat diterapkan pada sel dewasa.
Dengan kata lain, manusia telah mampu menciptakan suatu sel hidup sama seperti kita membuat foto copy dokumen dengan mesin foto copy. Persoalannya adalah debat dan diskusi yang muncul harus menjawab sebuah pertanyaan mendasar: “Apakah semua hal yang bisa dilakukan memang patut dilakukan?”. Dari sisi kemanusiaan misalnya, kloning manusia boleh jadi akan menjadi penyelamat bagi pasangan-pasangan tidak subur untuk memperoleh keturunan langsung. Sebaiknya bagi para etikawan dan agamawan, memegang teguh sebuah prinsip bahwa dalam ilmu pengetahuan tidak semua yang bias dilakukan patut dilakukan.
Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus sekalipun ditengah derasnya kritik dan kecemasan atas dasar-dasar prinsip etika. Etika agama “yang bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan dengan semangat teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning memang akhirnya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak untuk meresponnya.
Ketika masalah kloning dibahas di PBB, Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara yang abstain dalam pemungutan suara atas draf deklarasi majelis umum PBB pada 8 Maret 2005, yang berisi semua larangan bagi semua bentuk kloning manusia, termasuk kloning untuk keperluan medis. Sebanyak 84 negara mendukung deklarasi tersebut, sedangkan 34 negara menentang. Alasan Indonesia untuk bersikap abstain adalah karena masalah kloning tidak dapat diputuskan dengan cara pemungutan suara, harus dilakukan musyawarah dengan memandang berbagai latar belakang dan sudut pandang, termasuk agama.
Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan dengan kalangan agamawan dan etikawan, dan masing-masing akan tetap berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat adalah kesepakatan logis bahwa seyogyanya agamawan tidak mengesampingkan akal budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan etika, diperlukan kearifan dan etika untuk memahami dan menginterpretasikan “ijin Tuhan” untuk melakukan eksplorasi alam semesta ini. Kasus kloning merupakan ujian atas bagaimana kalangan agamawan dan ilmuwan harus bersikap satu sama lain. Kasus kloning adalah kasus yang ada dipermukaan bumi, sehingga akan lebih mudah diinterpretasi dan dicerna untuk disikapi. Bagaimana dengan kasus yang “tidak kasat mata”? Kasus perbedaan interpretasi antara kalangan agamis dan saintis di bawah ini mencoba mendeskripsikan perbedaan pandangan tersebut.

C. Kasus Pertentangan Saintis dan Agamawan
Kasus pengucilan Galileo oleh Gereja Katolik merupakan contoh nyata betapa agama diinterpretasikan tidak dengan tepat dalam hal pencarian kebenaran, sekalipun Gereja Katolik merehabilitasi kesalahan tersebut 500 tahun kemudian, peristiwa tersebut tetap saja menjadi acuan betapa agama selalu ketinggalan dibandingkan dengan sains.
Galileo Galilei (15 Februari 1564 – 8 Januari 1642) adalah seorang astronom, filsuf dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah, ia diajukan ke pengadilan Gereja Italia pada 22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan keyakinan Gereja bahwa bumi adalah pusat alam semesta, pemikirannya ini menyebabkan Dinas Suci Inkuisi gereja Katolik mengucilannya. Otoritas tertinggi Gereja Katolik bahkan ingin menghapuskannya dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua itu terjadi karena ilmuwan yang juga menulis puisi dan kritik sastra ini menyuarakan sebuah pandangan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah kekafiran besar yang akan merusak akidah umat.
Pandangan kosmologis yang dinggap “kafir” ini, yang juga dikenal sebagai sistem Heliosentris sebenarnya sudah dipikirkan oleh manusia sejak lebih dari 2.000 tahun yang silam. Karena ajaran Aristoteles dan kitab Suci Injil yang mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan Ptolomeus, sistem Heliosentris ini hilang dari dunia pengetahuan manusia. Sistem kosmos ini kemudian muncul kembali di Eropa Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473 – 1543). Pandangan ini kemudian dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571 -1630) yang mengajukan sejumlah hokum gerak dan orbit benda-benda langit (Arsuka. 2004).
Gaileo mencoba menandaskan kebenaran sistem Heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kuat. Galileo berpendapat bahwa bumi bergerak mengintari matahari dan bahwa sistemm kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori Heliosentris Kopernikus member penjelasan sederhana atas gerak-gerak planet yang telah membingungkan kaum cerdik cendekia, sambil menata ulang susunan planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem Heliosentris menawarkan diri sebagai sistem yang lebih masuk akal dibandingkan dengan sistem tradisional Geosentris.
Saling menggugat pandangan religious klasik atas posisi manusia di alam semesta yang menganggap bahwa bumi adalah pusat jagat raya, dan vatikan adalah pusat dunia, sistem Heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut pandang pengetahuan fisika yang dipahami pada waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman indrawi manusia yang dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan terbit di timur dan surut di barat.
Sampai pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17, para pemikir tumbuh dan terdidik dalam pemikiran Aristotelian, dalam faham fisika Aristoteles, benda-benda selalu bergerak menujun tempat mereka yang alami. Batu jatuh karena tempat alami benda-benda yang berbobot adalah pada pusat alam semesta, dan itu pula sebabnya maka bumi yang berat ini ada di tempatnya, yakni dipusat alam semesta itu. Menerima sistem Kopernikan bukan saja berarti manampik fisika Aristoteles dan membuang sistem geosentris Ptolomeus, itu juga berarti membantah kitab suci Injil yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak pada tempatnya. “Oh, Thanku, kau-lah yang Maha Besar …kau pancangkan bumi pada fondasinya, tiada bergerak untuk selamanya.” (Mazmur 103:1,5).
Konflik Galileo Galilei dengan Gereja Katolik Roma adalah sebuah contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir pada masyarakat barat. Sejarah pertentangan Galileo dengan Gereja seringkali hanya ditafsirkan sebatas ketertutupan agama terhadap sains. Padahal inti persoalannya adalah pertanyaan tentang kebenaran. Apakah sains memberi landasan bagi kita memperoleh kepastian mengenai dunia? Apakah sains bisa membawa kita untuk sampai pada kebenaran? Hokum agama kerapkali diterapkan dalam kehidupan manusia secara harafiah, sehingga penerapan tulisan dalam kitab suci mampu mengesampingkan argument ilmu pengetahuan sebagaimana terjadi dengan Galileo Galilei.
Sebuah kasus menarik lainnya adalah menyangkut bagaimana sebuah ayat di Al Quran dinterpretasi secara sangat berbeda oleh kalangan agama (dalam hal ini Departemen Agama RI), dan oleh seorang ahli matematika dan fisika dari mesir. Ayat tersebut dalah QS As Sajdah Ayat 5: “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Catatan kaki pada terjemahan versi Departemen Agama RI:” maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawah oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagungannya,”
Pandangan agamawan dalam menafsirkan ayat di atas tergambar dari penafsiran yang dilakukan oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam catatan kaki pada terjemehan Al Quran versi Departemen Agama RI, bahawa ayat tersebut hanyalah merupakan tamsil atau perumpamaan semata atas keagungan dan kebesaran Tuhan.
Contoh penafsiran yang dilakukan oleh Departemen Agama RI ini adalah contoh nyata betapa penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci belum dilakukan dengan pendekatan rasionalitas ilmu pengetahuan modern, penafsiran seperti itu bias di mafhumi karena tentu dilakukan dengan dsar pandangan dogmastis yang lebih sempit dri sutu otoritis tradisional yang mempunyai keterbatasan pemahaman sains dan ilmu pengetahuan alam modern seperti matematika, fisika maupun astronom.
Sementara itu, Dr. Mansour Hassab Elnaby, seorang ahli matematikadan fisika dari Mesir, dengan pemahaman fisika dan matematikanya mencoba menginterpretasikan ayat diatas dari sudut pandang teori fisika, matematika dan astronomi. Mengacu pada QS As Sajdah Ayat 5, Dr. Mansour menyampaikan bahwa jarak yang dicapai “sang urusan” selama satu hari adalah sama dengan jarak yang ditempuh bulan selama 1.000 tahun atau 12.000 bulan. Dr. Mansour menyatakan bahwa “sang urusan” inilah yang diduga sebagai sesuatu “yang berkecepatan cahaya”.
Dr. Mansour Hassab Elnaby, mengurakan secara jelas dan sistematis tentang cara menghitung kecepatan cahaya berdasarkan ayat Al Quran diatas. Dalam menghitung menghitung kecepatan cahaya ini, Dr. Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh ahli astronomi yaitu sistem siderial. Dengan pendekatan ini Dr. Mansour membuktikan secara matematis bahwa hubungan “sehari = seribu tahun” membawa pada hubungan matematika fisika yang menghasilkan angka kecepatan cahaya. Deskripsi detil mengenai pembuktian dan perhitungan yang dilakukan oleh Dr. Mansour dapat dilihat dalam lampiran.
Dalam dua kasus yang penulis paparkan diatas, nampak sangat jelas bahwa perbedaan pandangan antara kalangan agama dan sains disebabkan oleh ketidakpahaman kalangan agama mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat penting bagi para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan melakukan pembelajaran, tidak hanya pada apa yang tersurat dalam kitab suci, tetapi juga menyangkut segala hal yang dapat diobservasi secara fisik di alam semesta ini.
Apa yang terjadi pada kasus Galileo maupun kasus rasionalisasi “satu hari= seribu tahun” tidak terlepas dari faham pendekatan rasionalisme yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu modern telah berkembang berdasarkan prinsip rasionalitas ini, sebelumnya pemahaman ilmu pengetahuan seperti mandul ketika semua pengetahuan manusia dijalankan secara dogmatis berdasarkan dalil-dalil dari ahli-ahli Yunani kuno yang disampaikan oleh Aristoteles, Ptolemaueus, dan lain-lain, maupun sebagaimana tersurat dalam kitab suci (yang juga diinterpretasikan secara dogmatis).














BAB III
KESIMPULAN

Pada kenyataannya kita memang tidak bisa mencampuradukan pola pikir sains dengan agama, terdapat perbedaan cara pikir agama dan sains. Agama memang mengajarkan untuk menjalani agama dengan penuh keyakinan, sedangkan sebaliknya dalam sains skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi acuan untuk terus maju, mencari dan memecahkan rahasia alam.
Sains seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi oleh semua orang tanpa memandang apapun keyakinannya. Semua penganut agama harus memahami bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Semua penganut agama harus paham bahwa sinar matahari dapat dikonversi menjadi energi, karena hal ini memang terbukti melalui pendekatan sains.
Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains, kita belajar untuk rendah hati, oleh karena itu pembelajaran sains seyogyanya ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam semesta ini. Dalam hal ini telah secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab suci agama, tanpa perlu diperdebatkan atau dikaitkan dengan kaedah sains.
Sains sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan, namun demikian iman juga dapat digoyahkan oleh sains seandainya dicampuradukan dengan pemahaman agama. Pengkaitan fenomena alam dengan ayat-ayat suci secara serampangan bias jadi malah akan memberikan pemahaman yang salah. Bagi para agamawan yang kurang memahami sains, tindakan ini akan menyesatkan. Sebaliknya, mengkaitkan sains dengan agama oleh mereka yang tidak atau kurang dibekali agama bisa membuat kesimpulanyang diambil menjadi konyol dan menggelikan.
Selain para ilmuwan perlu mempelajari dan mendalami agama, para agamawan seharusnya juga mempelajari ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian tidak terjadi benturan yang terlalu besar, atau jarak yang terlalu lebar, yang memisahkan kedu prinsip dan sudut pandang antara sains dan agama.
Penulis setuju dengan paparan dan bahasan F. Budi Hardiman dalam “sains dan pencarian makna: Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama” bahwa, agama dan sains memang menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.




























Tidak ada komentar: